PANTAI WEDIOMBO
Jika kita berkunjung ke Desa Jepitu,
Girisubo, Gunungkidul, Yogyakarta, Indonesia sebuah imajinasi tentang pasir
putih maha luas yang memungkinkan mata untuk leluasa meneropong ke berbagai
sudut mungkin akan muncul bila mendengar pantai bernama Wediombo (wedi=pasir,
ombo=lebar). Namun, sebenarnya pantai Wediombo tak mempunyai hamparan
pasir yang luas itu. Bagian barat dan timur pantai diapit oleh bukit karang,
membuat hamparan pasir pantai ini tak seluas Parangtritis, Glagah, atau mungkin
Kuta.
Penduduk setempat memang
mengungkapkan bahwa nama pantai ini yang diberikan oleh nenek moyang tak sesuai
dengan keadaannya. Ada yang mengungkapkan, pantai ini lebih pantas menyandang
nama Teluk Ombo, sebab keadaan pantai memang menyerupai teluk yang lebar.
Terdapat batu karang yang mengapit, air lautnya menjorok ke daratan, namun
memiliki luas yang lebih lebar dibanding teluk biasa.
Tapi, di luar soal nama yang
kurang tepat itu, Wediombo tetap menyuguhkan pemandangan pantai yang luar
biasa. Air lautnya masih biru, tak seperti pantai wisata lainnya yang telah
tercemar hingga airnya berwarna hijau. Pasir putihnya masih sangat terjaga,
dihiasi cangkang-cangkang yang ditinggalkan kerangnya. Suasana pantai juga
sangat tenang, jauh dari riuh wisatawan yang berjemur atau lalu lalang
kendaraan. Tempat yang tepat untuk melepas jenuh.
Wediombo terletak di Desa
Jepitu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul. Pantai ini sangat mudah
dijangkau bila sebelumnya telah datang ke Pantai Siung. Cukup kembali ke
pertigaan di Tepus sebelum menuju ke Siung, kemudian belok kanan mengikuti alur
jalan hingga menemukan papan petunjuk belok ke kanan untuk menuju Wediombo.
Letak pantai ini jauh lebih ke
bawah dibanding daratan sekitarnya. Beberapa puluh anak tangga mesti dituruni
dulu sebelum dapat menjangkau pantai dan menikmati keelokan panoramanya. Sambil
turun, di kanan kiri dapat dilihat beberapa ladang penduduk setempat,
rumah-rumah tinggal dan vegetasi mangrove yang masih tersisa. Lalu
lalang penduduk yang membawa rerumputan atau merawat ternak di kandang juga
bisa dijumpai.
Selain panorama pantai yang
mengagumkan, Wediombo juga menawarkan pengalaman wisata unik, bahkan ekstrim,
yaitu memancing di ketinggian bukit karang. Saat ini jenis wisata yang bermula
dari kebiasaan memancing penduduk setempat ini tengah digemari oleh pehobi dari
kota Yogyakarta dan Wonogiri. Dan mendapatkan ikan ukuran besar adalah tujuan para pehobi
itu.
Bukan hal mudah untuk
memancing di bukit karang, sebab letaknya yang jauh dari pantai. Bukit karang
itu baru bisa dijangkau setelah berjalan ke arah timur menyusuri bibir pantai,
naik turun karang di tepian pantai yang terjal, licin dan kadang dihempas ombak
besar, kemudian naik lagi hingga puncak bukit karang yang langsung berhadapan
dengan laut lepas yang dalam. Bagi yang telah terbiasa saja, perjalanan menuju
bukit karang bisa memakan waktu satu jam.
Namun, hasil yang luar biasa
bisa dituai setelah mengalahkan segala rintangan itu. Penduduk setempat
mengungkapkan, ikan-ikan berukuran besar sering didapat oleh para turis lokal.
Minimal, pemancing akan mendapatkan ikan cucut, atau ikan panjo dalam
istilah setempat. Ikan yang panjangnya setara dengan lengan manusia dewasa ini
punya 2 jenis, yang berbentuk gilig (silinder) banyak ditemui pada musim
kemarau, sementara yang gepeng (pipih) ditemui pada musim hujan.
Untuk memancing, modalnya
hanya umpan berupa ikan teri yang bahkan bisa didapatkan di tepian pantai.
Tinggal menggunakan pancing atau merentangkan jaring kecil, maka umpan bisa
didapat.
Bagi yang tak cukup punya
nyali untuk menuju bukit karang, membeli ikan hasil pancingan mungkin adalah
cukup memuaskan. Beberapa pemancing menjual ikan panjo hasil tangkapannya hanya
seharga Rp 3.000,00 per ekor, atau kadang dijual per ikat berisi 5 - 6 ekor
ikan seharga Rp 20.000. Beberapa warga menawarkan jasa memasak ikan bila ingin
mencicipinya segera. Bila tidak, ikan bisa dibawa pulang mentah-mentah, tapi
tentu cukup merepotkan.
Paket masakan ikan panjo
goreng juga tersedia. Nasi, seekor ikan panjo goreng yang telah diiris kecil
beserta sambal mentah dijual sangat murah, hanya Rp 7.000,00. Nasinya
dihidangkan dalam bakul kecil, sementara sambalnya dalam cobek.
Porsinya cukup banyak, bahkan untuk 2 orang. Ada juga landak laut goreng yang
rasanya mirip daging ayam.
Pada saat-saat tertentu, anda
bisa melihat upacara Ngalangi yang digelar oleh penduduk setempat. Upacara ini
digelar sekali setahun, mirip upacara labuhan besar, tujuannya adalah
mengungkapkan syukur pada Tuhan atas anugerah yang diberikan dan memohon rejeki
lebih untuk masa mendatang. Anugerah yang dimaksud terutama adalah hasil
tangkapan ikan yang jumlahnya lumayan, hingga bisa mencukupi kebutuhan.
Prosesi upacaranya cukup unik,
dimulai dengan acara merentangkan gawar atau jaring yang dibuat dari
pohon wawar. Jenis jaring ini konon digunakan untuk menangkap ikan sebelum
adanya jaring dari senar yang dipakai sekarang. Gawar direntangkan dari bukit
Kedongkowok hingga wilayah pasang surut pantai. Perentangan dilakukan saat air
pasang, tujuannya adalah menjebak ikan yang terbawa ombak sehingga tak dapat
kembali ke lautan.
Setelah air surut, ikan-ikan
diambil. Warga kemudian sibuk membersihkan dan memasak ikan tangkapan. Sebagian
kecil ikan dilabuh lagi ke lautan bersama nasi dan sesaji. Sebagian besar
lainnya dibagi sesuai dengan jumlah keluarga penduduk setempat dan diantar ke
rumah-rumah warga. Acara mengantar ikan ke rumah- rumah warga ini sering
disebut kendurian besar, wujud kearifan lokal bahwa semua ikan adalah rejeki
bersama.
Kecuali upacara Ngalangi,
seluruh pesona pantai bisa dinikmati setiap harinya. Retribusi masuk pantai
hanya Rp 5.000,00 untuk dua orang plus parkir kendaraan. Bila ingin bermalam
atau menggelar sebuah acara yang dihadiri sekelompok kecil orang, terdapat
sebuah gubug yang terletak tak jauh dari warung-warung yang berjejer di pantai.
Sangat mengasyikkan dan mampu menebus rasa lelah ketika menuju ke pantai ini